TRANSFORMASI GANG DOLLY, SUDUT PANDANG WARGA LOKAL EKS TEMPAT PROSTITUSI TERBESAR SE-ASIA TENGGARA.

    Sulture - Sebuah distrik yang berada di Jl. Kupang Gn. Timur, Putat Jaya, Kec. Sawahan, Surabaya atau lebih dikenal sebagai kawasan Gang Dolly, merupakan sebuah tempat yang menyimpan berjuta nilai kontroversial beberapa tahun yang lalu. Dilansir dari Galamedia News, tercatat sejak tahun 1970-an, gang ini pernah menjadi salah satu tempat prostitusi terbesar se – Asia tenggara, sebelum akhirnya pada tahun 2014 PemKot Surabaya memutuskan untuk menetralisir kawasan tersebut.

    Dolly van Der Mart merupakan sebuah nama dari seorang perempuan yang memiliki rumah bordil di daerah tersebut, sehingga menjadi sebuah nama yang sangat dikenal dan menjadikan nama Dolly sebagai ikon dari daerah ini (Galamedia News).

    Lokalisasi gang dolly ini disebut sebagai Lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Keputusan tersebut membawa berbagai dampak positif dari berbagai sudut pandang, baik sosial, ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan. Meskipun terdapat tantangan dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi mantan pekerja, kebijakan ini secara keseluruhan diharapkan membawa perbaikan jangka panjang bagi masyarakat Surabaya.

    Kendati begitu, sudut pandang lain datang dari warga lokal yang dulunya berprofesi sebagai penjual di kawasan prostitusi tersebut, “Sejak kawasan ini ditertibkan, dagangan saya jadi sepi mas. Penglarisnya sudah tidak pernah kesini lagi” ujar Mbah Karmi (70) seorang nenek pemilik toko kelontong di daerah tersebut.

    Mata pencaharian menjadi faktor yang berdampak besar bagi warga lokal, meskipun hanya berjualan makanan ringan dan minuman, namun profesi tersebut dapat menjadi roda utama dalam mencari nafkah. Karena memang lokasi yang strategis sehingga dagangan bisa mendatangkan banyak pembeli.

  Semenjak dilokalisasi, toko – toko kecil tersebut sepi pembeli, sehingga banyak pedagang yang memutuskan untuk menutup dagangannya sendiri, “ ya aslinya gak ditutup mas, cuman ya gak ada yang beli akhirnya ya nutup sendiri, dulu kalau sekiranya sudah sore sekitar jam 4-an, sudah banyak yang jalan-jalan lewat sini mas, terus boneka-bonekanya sudah duduk rapih nunggu ada yang jemput, kalau sekarang ya gini mas sepi, siapa yang mau beli” ujar Mbah Karmi (70).

    Dibalik keluhan mereka perihal ekonomi, mereka memang meyakini akan dampak baik yang datang setelah dilokalisasikannya tempat tersebut, masa depan generasi hingga culture kota pahlawan yang harus dirawat bersama.


(Aksa/Uje)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASJID CHENG HO : SIMBOL AKULTURASI BUDAYA TIONGKOK, JAWA, DAN ARAB DI SURABAYA

MENGGALI SEJARAH : HOTEL MAJAPAHIT SEBAGAI IKON PERHOTELAN DI JL. TUNJUNGAN SURABAYA

SIROPEN : KEMBANG GULA DI TENGAH KOTA LAMA