KETIMPANGAN KUNJUNGAN ANTARA CAFE MODERN DAN WARUNG LOKAL DI SURABAYA: GAYA HIDUP ATAU EKONOMI?

 


        Sulture - Jalan Tunjungan yang aktif sejak 1979 yang juga merupakan salah satu ikon kota Surabaya, kini menghadapi ketimpangan antara kafe modern yang menjamur dan warung tradisional yang mulai tersisih. Perbedaan mencolok antara kedua jenis usaha ini mencerminkan ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin meluas. Di tengah perkembangan gaya hidup masyarakat perkotaan, perbedaan jumlah pengunjung antara cafe modern dan warung lokal di Surabaya semakin terlihat mencolok. Cafe modern dengan fasilitas canggih seperti Wi-Fi gratis dan suasana estetik menjadi pilihan utama anak muda, sementara warung lokal perlahan kehilangan daya tariknya di mata generasi milenial dan Gen Z.                 

Kunjungan Cafe Modern Melonjak

    Desain interior yang menarik dan menu yang bervariasi tentu sangat identik dengan cafe, dari pengamatan saya sejauh ini rata-rata pengunjung cafe adalah kalangan anak muda dan mahasiswa. Selain itu mengunjungi cafe modern dianggap bagian dari gaya hidup modern dan trendi, kebanyakan dari anak muda selalu mengunggah foto dari cafe untuk kebutuhan media sosial.                                  

Warung Lokal Semakin Sepi

    Sementara itu, warung lokal, yang menawarkan harga lebih terjangkau dan menu tradisional, mengalami penurunan pengunjung. kebanyakan pengunjung warung tradisional di jalan tunjungan adalah para pekerja sekitar dan masyarakat menengah ke bawah, daya tarik warung lokal di kalangan anak muda semakin berkurang. "Dulu ramai, tapi sekarang lebih banyak yang pergi ke cafe, mungkin karena tren dan gaya hidup," ungkap bapak sumarto, salah satu pemilik warung tradisional di jalan tunjungan.


Perbedaan Fasilitas Jadi Faktor Utama

    Salah satu alasan utama perbedaan ini adalah fasilitas. Cafe modern menawarkan tempat duduk yang nyaman, soket listrik di setiap meja, menu yang beragam, dan akses internet yang cepat, yang sangat penting bagi pengunjung yang bekerja dari jarak jauh atau belajar. Di sisi lain, warung lokal umumnya masih mempertahankan konsep sederhana dengan fokus pada kelezatan dan harga murah. "Orang sekarang butuh tempat nongkrong yang nyaman dan bisa akses internet, sedangkan warung lokal cuman menyediakan minuman sachetan dan mie instan," ucap Bapak sumarto, pemilik warung lokal.

Apa Dampaknya?

    Ketimpangan ini memunculkan tantangan baru bagi pemilik warung lokal yang semakin sulit bersaing dengan caffe modern. Beberapa warung mulai berinovasi dengan memperbarui tampilan dan menambah fasilitas sederhana, seperti Wifi, untuk menarik kembali pengunjung muda. Namun, dampaknya tetap terasa, terutama dari sisi pemasukan yang tidak sebanding dengan lonjakan pengunjung di cafe modern.


Bagaimana Masa Depannya?

    Kedepannya, pemilik warung lokal dihadapkan pada pilihan sulit: tetap mempertahankan konsep tradisional mereka atau beradaptasi dengan tuntutan pasar yang semakin digital dan modern. Sementara itu, cafe modern terus menguasai pangsa pasar, didukung tren gaya hidup yang semakin mengedepankan kenyamanan dan konektivitas.


(V/Ai)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASJID CHENG HO : SIMBOL AKULTURASI BUDAYA TIONGKOK, JAWA, DAN ARAB DI SURABAYA

MENGGALI SEJARAH : HOTEL MAJAPAHIT SEBAGAI IKON PERHOTELAN DI JL. TUNJUNGAN SURABAYA

SIROPEN : KEMBANG GULA DI TENGAH KOTA LAMA